Selasa, 17 September 2013

makalah kesehatan mental

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan mental telah lama menjadi perhatian umat manusia. Jauh sebelum kaum akademisi berusaha meneliti dan menangani problem kesehatan mental, masyarakat awam sudah melakukan usaha-usaha penanganannya sejalan dengan kemampuan mereka. Kesehatan mental itu memang bukan masalah yang baru karena merupakan kebutuhan dasar manusia. Kesehatan fisik maupun kesehatan mental adalah sama-sama penting diperhatikan.Tiadanya perhatian yang serius pada pemeliharaan kesehatan mental di masyarakat ini menjadikan hambatan tersendiri bagi kesehatan secara keseluruhan. Hanya saja karena faktor keadaan, dalam banyak hal kesehatan secara fisik lebih dikedepankan dibandingkan kesehatan mental. Mengingat pentingnya persoalan kesehatan mental ini, banyak bidang ilmu khususnya yang mempelajari persoalan perilaku manusia. Berbagai bidang ilmu yang memberi porsi tersendiri bagi studi kesehatan mental diantaranya dunia kedokteran, pendidikan, psikologi, studi agama, dan kesejahteraan sosial. Kesehatan mental disadari telah memiliki kontribusi bagi pengembangan dan penerapan bidang ilmu yang dipelajari. Hal ini karena manusia tidak dapat dilepaskan dari aspek kesehatan mental. Menurut Daradjat (2001: 9) kesehatan mental seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Yang termasuk faktor internal antara lain: kepribadian, kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis, keberagamaan, sikap menghadapi problema hidup, kebermaknaan hidup, dan keseimbangan dalam berfikir. Adapun yang termasuk faktor eksternal antara lain: keadaan ekonomi, budaya, dan kondisi lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan. Dalam mempelajari kesehatan mental terdapat penyesuaian diri antara diri sendiri dengan diri nya sendiri, maupun diri sendiri dengan orang lain ataupun lingkungan. B. Tujuan Agar kita dapat memahami konsep dasar kesehatan mental serta mampu menyesuaikan diri yang sehat dan tergangu. Serta mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.   BAB II PEMBAHASAN 1. Konsep Dasar Kesehatan Mental a. Pengertian kesehatan mental Secara etimologis, Mental Hygiene berasal dari kata mental dan hygiene. Kata “mental” berasal dari kata latin “mens” atau “mentis” artinya jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dalam bahasa Yunani, kata hygiene berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan mental merupakan bagian dari hygiene mental (ilmu kesehatan mental). Mental hygiene sering disebut pula psiko-hygiene. (Yusak Burhanuddin, 1999: 9). Menurut Kartini Kartono (2000: 3), mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, yang bertujuan mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa. Definisi di atas menunjukkan bahwa kondisi mental yang sakit pada masyarakat dapat disembuhkan apabila mengetahui terlebih dahulu hal-hal yang mempengaruhi kesehatan mental tersebut melalui pendekatan hygiene mental. Dalam perjalanan sejarahnya, pengertian kesehatan mental dalam perspektif psikologi dapat dipahami dari definisi-definisi berikut : a) Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa (neurosis dan psikosis). b) Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. Pengertian ini lebih luas dan umum, karena telah dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Dengan kemampuan penyesuaian diri, diharapkan akan menimbulkan ketentraman dan kebahagiaan hidup. c) Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk mengatasi problem yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). d) Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan potensi, bakat dan pembawaan semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain, terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa (Darajat, 1994:11-14). Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan, adanya keserasian fungsi jiwa, dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna, dan berbahagia serta dapat menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin. Sedangkan Zakiah Daradjat (1984: 4), merumuskan definisi berikut: “kesehatan mental ialah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat”, Dengan rumusan lain, kesehatan mental ialah suatu ilmu yang berpautan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, yang mencakup semua bidang hubungan manusia, baik hubungan dengan diri sendiri, maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam dan lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan”. Dengan memasukkan aspek agama, seperti keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan dalam kesehatan mental, pengertiannya menjadi terasa luas karena sudah mencapai seluruh aspek kehidupan manusia. Agama merupakan salah satu kebutuhan psikis manusia yang perlu dipenuhi oleh setiap orang yang merindukan ketentraman dan kebahagiaan (Jaelani, 1997: 77). Dari uraian di atas dapat difahami bahwa kesehatan mental merupakan kondisi kejiwaan manusia yang harmonis. Seseorang memiliki jiwa yang sehat apabila perasaan, pikiran, maupun fisiknya juga sehat. Karena kondisi fisik dan psikisnya terjaga dengan selaras, orang bermental sehat tidak akan mengalami kegoncangan, kekacauan jiwa (stres), frustasi, tidak bisa menyesuaikan diri atau penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. Dengan kata lain orang yang memiliki kesehatan mental prima juga memiliki kecerdasan seimbang baik secara intelektual, emosional, maupun spiritualnya untuk mencapai kebahagiaan hidup. Berdasarkan berbagai pengertian yang disampaikan para pakar tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala gangguan atau penyakit mental, terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antar fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya, adanya kemampuan yang dimiliki untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. b. Ciri-ciri yang bermental sehat dan yang tidak Sehat dan sakit adalah keadaan biopsikososial yang menyatu dengan kehidupan manusia. Pengenalan manusia terhadap konsep ini kemungkinan bersamaan dengan pengenalannya terhadap kondisi dirinya. Keadaan sehat dan sakit tersebut terus terjadi, dan manusia akan memerankan sebagai orang yang sehat atau sakit. Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat dirasakan dan diamati keadaannya. World Health Organization (WHO), sebuah lembaga kesehatan dunia, merumuskan sehat yaitu keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan. Pengertian ini merupakan suatu keadaan ideal dari sisi biologis, psikologis, dan sosial. Sakit dalam bahasa Inggris yaitu disease,illness, dan sickness. Ketiga istilah ini mencerminkan bahwa sakit mengandung tiga pengertian yang berdimensi biopsikososial. Secara khusus disease berdimensi biologis, illness berdimensi psikologis, dan sickness berdimensi sosiologis (Notosudirdjo, 2001:4). Berikut ini dipaparkan ciri-ciri orang yang memiliki mental sehat dan mental yang tidak sehat. Pada umumnya pribadi yang normal memiliki mental yang sehat. Demikian sebaliknya, bagi yang pribadinya abnormal cenderung memiliki mental yang tidak sehat (Baharuddin, 1999: 13). Orang yang bermental sehat adalah mereka yang memiliki ketenangan batin dan kesegaran jasmani. Ancok (dalam Frankl, 2003: ix) menyatakan bahwa kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang penuh makna. Hanya dengan makna yang baik orang akan menjadi insan yang berguna tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Kerusakan moral dan gangguan jiwa adalah karena orang tidak memiliki makna hidup yang baik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1959 memberikan batasan mental yang sehat adalah sebagai berikut : 1) Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan meskipun kenyataan itu buruk baginya. 2) Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya. 3) Merasa lebih puas memberi dari pada menerima. 4) Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas. 5) Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan. 6) Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran dikemudian hari. 7) Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif. 8) Mempunyai rasa kasih sayang yang besar. Karakteristik kepribadian yang sehat, menurut Allport meliputi: a) Memiliki kebutuhan yang terus menerus dan bervariasi serta menyukai tantangan-tatangan baru. b) Tidak menyukai hal-hal yang rutin dan mencari pengalaman-pengalaman baru. c) Mengambil risiko, berspekulasi dan menyelidiki hal-hal baru. d) Aktivitas yang menghasilkan ketegangan. e) Melalui tantangan dan pengalaman baru manusia dapat bertumbuh dan berkembang. f) Pribadi sehat berfungsi secara sadar dan menyadari sepenuhnya kekuatan-kekuatan yang membimbing dan dapat mengontrol kekuatan-kekuatan yang dimiliki. g) Pribadi yang matang tidak dikontrol oleh trauma dan konflik masa kanak-kanak. h) Kebahagiaan merupakan hasil dari keberhasilan integrasi kepribadian dalam mengejar inspirasi dan tujuan hidupnya. Di samping itu, Kartini Kartono (2000: 82-83), mengemukakan empat ciri-ciri khas pribadi yang bermental sehat meliputi: 1) Ada koordinasi dari segenap usaha dan potensinya, sehingga orang mudah melakukan adaptasi terhadap tuntutan lingkungan, standard, dan norma social serta perubahan social yang serba cepat. 2) Memiliki integrasi dan regulasi terhadap struktur kepribadiansendiri sehingga mampu memberikan partisipasi aktif kepada masyarakat. 3) Dia senantiasa giat melaksanakan proses realisasi diri (yaitu mengembangkan secara riil segenap bakat dan potensi), memiliki tujuan hidup, dan selalu mengarah pada transendensi diri, berusaha melebihi keadaan yang sekarang. 4) Bergairah, sehat lahir dan batinnya, tenang harmonis kepribadiannya, efisien dalam setiap tindakannya, serta mampu menghayati kenikmatan dan kepuasan dalam pemenuhan kebutuhannya. Kriteria sehat mental juga dikemukakan tokoh agama berikut: a) Bertanggungjawab: berani menghadapi segala hal yang dilakukannya. b) Dewasa : memiliki sikap dan perilaku yang tidak manja dan kekanak-kanakan. c) Menghormati dan menghargai orang lain : berperilaku sopan santun sesuai aturan, nilai, norma dan adat istiadat yang ada di suatu tempat. d) Optimis : berfikir positif dalam menghadapi kehidupan. e) Beriman dan bertakwa : Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melaksanakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya. f) Disiplin : taat dan patuh terhadap aturan yang ada serta menghargai waktu yang ada. Kriteria tersebut menyempurnakan konsep-konsep sebelumnya dengan menambahkan satu elemen spiritual agama. Sehingga kesehatan mental itu bukan hanya sehat dari segi fisik, psikologik, dan sosial saja, melainkan juga sehat dalam arti spiritual. c. Jenis-jenis mental yang tidak sehat Gangguan mental dalam beberapa hal disebut perilaku abnormal (abnormal behavior), yang juga dianggap sama dengan sakit mental (mental illness), sakit jiwa (insanity, lunacy, madness). Dari pengertian ini, orang yang menunjukkan kurang sehat mentalnya maka dimasukkan sebagai orang yang mengalami gangguan mental. Menurut S.Scott (dalam Notosoedirdjo, 2001:43) mengelompokkan enam macam kriteria untuk menentukan seseorang mengalami gangguan mental yaitu: 1) orang memperoleh pengobatan psikiatris, 2) salah penyesuaian sosial, 3) hasil diagnosis psikiatris, 4) ketidakbahagiaan subjektif, 5) adanya simptom psikologis secara objektif, dan 6) kegagalan adaptasi secara positif. Sedangkan Kartini Kartono (2000:5), menyatakan bahwa sakit mental merupakan bentuk gangguan pada ketenangan batin dan ketentraman hati. Penyakit mental ditandai dengan fenomena ketakutan, pahit hati, hambar hati, apatis, cemburu, iri hati, dengki, kemarahan yang eksplosif, ketegangan batin yang kronis. Berikut ini diuraikan beberapa jenis penyakit mental/gangguan mental yang setidaknya dikatagorikan menjadi 4 (empat) jenis: 1. Gangguan organik otak Jenis gangguan ini adalah akibat langsung dari fisik (seluruh tubuh) perubahan dan penyakit yang mempengaruhi otak. Hal ini menyebabkan perubahan untuk beberapa derajat kebingungan dan delusi selain kecemasan dan kemarahan. Beberapa penyakit ini meliputi: Pertama: penyakit degeneratif meliputi: a. Huntington: penyakit-penyakit genetik yang terdiri dari gerakan abnormal, demensia, dan masalah psikologis. b. Multiple Sclerosis: gangguan sistem kekebalan tubuh yang mempengaruhi sistem saraf pusat (otak & saraf tulang belakang). c. Pikun. d. Parkinson: gangguan saraf yang menyebabkan kelumpuhan. Kedua: kardiovaskular, yakni gangguan berhubungan dengan jantung, stroke, dan gangguan yang berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Ketiga: trauma diinduksi, berhubungan dengan cedera otak, perdarahan dan gegar otak. Keempat: intoksikasi, yakni terkait ketergantungan obat-obatan dan alkohol. 2. Mood dan Kecemasan Beberapa gangguan utama dalam kategori ini adalah: depressi, fobia, gangguan panik. Beberapa penyebab penyakit ini disebabkan oleh situasi sebelumnya, misalnya: terutama peristiwa traumatis, seperti korban pelecehan seksual dan veteran perang biasanya memiliki kepanikan dan fobia. 3. Gangguan kepribadian Ada 3 kelompok gangguan kepribadian, meliputi : pertama, Odd Perilaku yang tidak biasa, seperti: 1) paranoid, yaitu perasaan bahwa setiap orang dan segala sesuatu diketahui mereka namun pada kenyataannya hal ini tidak benar. 2) Skizofrenia, yaitu apatis terhadap orang lain dan tidak ada keinginan untuk bersosialisasi.Kedua, dramatis, atau perilaku emosional tak menentu, seperti: 1) Antisocial: menghindari orang. 2) Borderline kepribadian, tidak menentu emosi dalam berhubungan dengan orang. 3) Munafik kepribadian, pencari perhatian, manipulator, cenderung melebih-lebihkan hubungan “semua orang mencintai saya”. Ketiga, cemas takut, termasuk: 1) Avoidant : gangguan kepribadian-takut mengambil risiko, mudah tertipu, hiper-sensitif, menghindari segala sesuatu yang mencakup interaksi sosial. 2) Dependent: gangguan kepribadian-karena kelalaian, miskin, telah ditinggalkan dan merasa itu akan terjadi lagi. 3) Obsesif-kompulsif: gangguan kecemasan, menarik pikiran dan obsesi tentang hal-hal yang tidak nyata. 4. Gangguan psikotik Gangguan psikotik adalah kumpulan penyakit yang sangat mempengaruhi proses otak dan berpikir. Orang-orang ini mengalami kesulitan berpikir rasional dan penilaian mereka terganggu. Dalam kehidupan sehari-hari menjadi sangat sulit. Gejala yang paling umum penyakit ini biasanya delusi dan halusinasi. Delusi percaya fakta tertentu bahkan setelah fakta-fakta tersebut telah terbukti salah. Halusinasi mirip dengan delusi dalam keyakinan yang salah, namun halusinasi dirasakan dengan indra dan tidak pikiran. ”Mendengar hal” atau “melihat sesuatu” adalah contoh dari halusinasi. Beberapa gejala lain adalah: perilaku aneh (mungkin berbahaya untuk diri sendiri atau orang lain), kurangnya kebersihan pribadi, penurunan minat dalam melakukan hal-hal, pola bicara aneh yang tidak dimengerti, perubahan suasana hati, kesulitan hubungan, lambat atau gerakan-gerakan aneh. Demikian uraian singkat tentang penyakit mental atau gangguan mental sekalian kriteria mental sakit/tidak sehat sebagai pengetahuan yang bermanfaat bagi upaya melakukan deteksi dini dan pencegahan dini agar kita terhindar dari penyakit atau gangguan mental tersebut dan sebaliknya mencapai kesehatan mental yang kita dambakan. Sebagai catatan bahwa masih sangat luas kajian terkait kesehatan mental (kriteria sehat mental dan sakit mental) ini dalam studi secara khusus, misalnya kesehatan mental dalam perspektif tasawuf Islam (yang tidak dibahas dalam makalah ini). 2. Penyesuaian Diri a. Pengertian Penyesuaian Diri Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal adjustment. Schneiders berpendapat bahwa penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu: penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity), dan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery). Pada mulanya penyesuaian diri diartikan sama dengan adaptasi (adaptation), padahal adaptasi ini pada umumnya lebih mengarah pada penyesuaian diri dalam arti fisik, fisiologis, atau biologis. Misalnya, seseorang yang pindah tempat dari daerah panas ke daerah dingin harus beradaptasi dengan iklim yang berlaku di daerah dingin tersebut. Ada juga penyesuaian diri diartikan sama dengan penyesuaian yang mencakup konformitas terhadap suatu norma. Pemaknaan penyesuaian diri seperti ini pun terlalu banyak membawa akibat lain. Dengan memaknai penyesuaian diri sebagai usaha konformitas, menyiratkan bahwa di sana individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus selalu mampu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial, maupun emosional. b. Karakteristik penyesuaian diri yang sehat dan terganggu 1. Karakteristik penyesuaian diri yang sehat Penyesuaian diri (self adjustment) merupakan proses untuk memperoleh/ memenuhi kebutuhan (needs satisfaction), dan mengatasi stres, konflik, frustasi, serta masalah-masalah tertentu dengan cara-cara tertentu. Seseorang dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri yang sehat apabila dia mampu memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalahnya secara wajar, tidak merugikan diri sendiri dan lingkungannya, serta sesuai denagn norma agama dan Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah orang yang memiliki respons – respons yang matang, efisien, memuaskan, dan tidak pernah menangani tugas – tugas secara lengkap. Istilah “ sehat “ berarti respons yang baik untuk kesehatan, yakni cocok dengan kodrat manusia, dalam hubungannya dengan orang lain dan dengan tanggung jawabnya. Singkatnyan meskipun memiliki kekurangan – kekurangan kepribadian, orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dapat bereaksi secara efektif terhadap situasi situasi yang berbeda, dapat memecahkan konflik – konflik, frustasi – frustasi dan masalah – masalah tanpa menggunakan tingkah laku simtomatik. Karena itu individu bebas dari simtom simtom seperti kecemasan kronis, obsesi, dan gangguan – gangguan psikofisiologis ( psikosomatik ). Selain itu, Menurut Hariyadi terdapat beberapa karakteristik penyesuaian diri yang sehat, diantaranya: • Kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya. Karakteristik ini mengandung pengertian bahwa orang yang mempunyai penyesuaian diri yang positif adalah orang yang sanggup menerima kelemahan-kelemahan, kekurangan-kekurangan di samping kelebihan-kelebihannya. Individu tersebut mampu menghayati kepuasan terhadap keadaan dirinya sendiri, dan membenci apalagi merusak keadaan dirinya betapapun kurang memuaskan menurut penilaiannya. Hal ini bukan berarti bersikap pasif menerima keadaan yang demikian, melainkan ada usaha aktif disertai kesanggupan mengembangkan segenap bakat, potensi, serta kemampuannya secara maksimal. • Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif, sesuai dengan perkembangan rasional dan perasaan. Orang yang memiliki penyesuaian diri positif memiliki ketajaman dalam memandang realita, dan mampu memperlakukan realitas atau kenyataan secara wajar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ia dalam berperilaku selalu bersikap mau belajar dari orang lain, sehingga secara terbuka pula ia mau menerima feedback dari orang lain. • Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi, kemampuan yang ada pada dirinya dan kenyataan objektif di luar dirinya. Karakteristik ini ditandai oleh kecenderungan seseorang untuk tidak menyia-nyiakan kekuatan yang ada pada dirinya dan akan melakukan hal-hal yang jauh di luar jangkauan kemampuannya. Hal ini terjadi perimbangan yang rasional antara energi yang dikeluarkan dengan hasil yang diperolehnya, sehingga timbul kepercayaan terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. • Memiliki perasaan yang aman dan memadai Individu yang tidak lagi dihantui oleh rasa cemas ataupun ketakutan dalam hidupnya serta tidak mudah dikecewakan oleh keadaan sekitarnya. Perasaan aman mengandung arti pula bahwa orang tersebut mempunyai harga diri yang mantap, tidak lagi merasa terancam dirinya oleh lingkungan dimana ia berada, dapat menaruh kepercayaan terhadap lingkungan dan dapat menerima kenyataan terhadap keterbatasan maupun kekurangan-kekurangan dan lingkungan-nya. • Rasa hormat pada manusia dan mampu bertindak toleran Karakteristik ini ditandai oleh adanya pengertian dan penerimaan keadaan di luar dirinya walaupun sebenarnya kurang sesuai dengan harapan atau keinginannya. • Terbuka dan sanggup menerima umpan balik Karakteristik ini ditandai oleh kemampuan bersikap dan berbicara atas dasar kenyataan sebenarnya, ada kemauan belajar dari keadaan sekitarnya, khususnya belajar mengenai reaksi orang lain terhadap perilakunya. • Memiliki kestabilan psikologis terutama kestabilan emosi Hal ini tercermin dalam memelihara tata hubungan dengan orang lain, yakni tata hubungan yang hangat penuh perasaan, mempunyai pengertian yang dalam, dan sikapnya wajar. • Mampu bertindak sesuai dengan norma yang berlaku, serta selaras dengan hak dan kewajibannya. • Individu mampu mematuhi dan melaksanakan norma yang berlaku tanpa adanya paksaan dalam setiap perilakunya. Sikap dan perilakunya selalu didasarkan atas kesadaran akan kebutuhan norma, dan atas keinsyafan sendiri. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri 1. Frustasi atau tekanan perasaan Frustasi adalah suatu proses yang menyebabkan orang merasa adanya hambatan terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan, atau menyangka bahwa akan terjadi sesuatu hal yang menghalangi keinginannya tersebut. Orang yang percaya kepada dirinya dapat mengatasi segala faktor-faktor dan situasi frustasi, bahkan frustasi ringan tidak akan terasa sama sekali, akan tetapi sebaliknya orang yang kurang percaya kepada dirinya akan sangat peka terhadap dirinya, ia akan merasa marah dan tindakan-tindakannya akan terpenuhi oleh tanggapannya terhadap situasi itu. Tanggapan terhadap situasi itu akan berpengaruh pula terhadap lingkungan dimana ia hidup. Apabila situasi lingkunagn dapat memberikan kepuasan dan menjamin tercapainya keinginan-keinginan, maka akan timbullah kepercaan terhadap lingkungan dan akan merasa optimis serta senang kepada lingkunga tersebut. Dan apabila faktor-faktor lingkungan tesebut sering menghambat dan menekankan keinginan, maka akan berkurang kepercayaan terhhadap lingkungan dan timbullah tindakan-tindakan yang menentang terhadap lingkungan itu. 2. Konflik atau pertentangan batin. Konflik jiwa atau pertentangan batin,adalah terdapatnya dua macam dorongan,yang berlawanan atau bertentangan satu sama lain. Konflik di bagi dua macam, yaitu: a. Pertentangan antara dua hal yang diingini b. Pertentangan antara dua hal yaitu yang di ingini dan yang tidak di ingini. Konflik ini akan terjadi apabila kedua keinginan itu bertentangan antara satu dengan yang lain. c. Pertentangan antara dua hal yang tidak diingini : yaitu orang yang menghadapi situasi yang menimbulkan dua hal yang sama-sama tidak disenangi. 3. Kecemasan Kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Rasa cemas itu terdapat dalam semua gangguan dan penyakit jiwa dan ada bermacam-macam pula. a) Rasa cemas yang timbul akibat melihat dan mengetahui ada bahaya yang mengancam dirinya. b) Rasa cemas yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk. c) Rasa cemas karena merasa berdosa atau bersalah karena melakukan hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani. 3.Implikasi kesehatan mental bagi penyelenggaraan pendidikan di sekolah Berangkat dari telaah tentang ciri-ciri dan karakteristik manusia sehat mental yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, menjadi penting kita mencari titik temu dan relevansi yang mampu mewujudkan satu misi dari dua bidang berbeda antara tujuan kesehatan mental pada satu sisi dan fungsi/tujuan pendidikan pada sisi yang lain. Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, Pasal 3, menegaskan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Sebelumnya juga telah ditegaskan konsep pendidikan yang tertuang pada pasal 1, ayat 1: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Dari paparan pengertian pendidikan, fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut terbaca jelas memiliki relevansi dan singkron dengan karakteristik kesehatan mental sebagaimana telah diurai sebelumnya. Dengan kata lain, apa yang menjadi cita-cita pendidikan nasional bermuara pada apa yang menjadi kriteria kesehatan mental dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian implikasi kesehatan mental siswa terhadap penyelenggaraan pendidikan dapat ditegaskan:pertama, bahwa dalam penyelenggaran pendidikan (baca:formal) pada setiap satuan pendidikan di Indonesia seharusnya mendesain visi, misi dan tujuannya yang secara simultan mampu membentuk peserta didik yang bermental sehat sebagaimana tujuan pendidikan nasional tersebut. Kedua, seluruh warga sekolah seharusnya secara kompak melaksanakan, mengevaluasi dan melakukan tindaklanjut secara konsisten demi mencapai tujuan pendidikan nasional dan kriteria kesehatan mental tersebut. Ketiga, setiap satuan pendidikan seharusnya memberdayakan program-program pengembangan diri, bimbingan konseling, dan sejenisnya sebagai media yang sangat efektif untuk pembinaan potensi peserta didik sesuai minat-bakat dan pencegahan dini sekaligus tindakan terhadap penyimpangan, gagguan/sakit mental yang dialami peserta didik.   BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala gangguan atau penyakit mental, terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antar fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya, adanya kemampuan yang dimiliki untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental memiliki pengertian kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri sesuai tuntutan kenyataan di sekitarnya, dan kesehatan mental perlu dipahami sebagai kondisi kepribadian seseorang secara keseluruhan. Penentuan derajat kesehatan mental seseorang bukan hanya berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan seseorang dalam lingkungannya. Kesehatan mental seseorang sangat erat kaitannya dengan tuntutan-tuntutan masyarakat tempat ia hidup, masalah-masalah hidup yang dialami, peran sosial dan pencapaian-pencapaian sosialnya. 2. Saran Setiap satuan pendidikan seharusnya memberdayakan program-program pengembangan diri, bimbingan konseling, dan sejenisnya sebagai media yang sangat efektif di sekolah untuk pembinaan potensi peserta didik sesuai minat-bakat dan berfungsi efektif bagi pencegahan dini sekaligus tindakan terhadap penyimpangan, gagguan/sakit mental yang dialami peserta didik. Pendidikan budaya dan karakter seharusnya diintegrasikan dalam seluruh proses pembelajaran di kelas dan lingkungan sekolah secara konsisten untuk menjamin kesehatan mental siswa KEPUSTAKAAN Daradjat, Zakiah. 1994. Kesehatan Mental. Jakarta: CV. Masagung Daradjat, Zakiah (1984).Kesehatan Mental Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta: IAIN Frankl, F.E. 2003. Logoterapi; Terapi Psikologi Melalui Pemahaman Eksistensi. Penterjemah M. Murtadlo. Yogyakarta: Kreasi Wacana Jaelani, AF., 2001. Penyucian Jiwa & Kesehatan Mental, Jakarta: Penerbit Amzah Kartono, Kartini. 2000. Hygiene Mental. Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju Notosoedirdjo, Moeljono dan Latipun. 2001. Kesehatan Mental:Konsep dan Penerapan. Malang:Universitas Muhammadiyah malang Press Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Yusak Baharuddin. 1999. Kesehatan Mental. Bandung: CV Pustaka Setia